TRYPANOSOMIASIS (SURRA)

Dedi Candradscf1144.jpg
Penyakit ini menjadi menakutkan pada satwa liar khususnya badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) setelah kasus kematian 5 ekor badak sumatera di Sungai Dusun Malaysia. Awalnya penyakit ini dianggap tidak berbahaya pada Badak karena memang kasusnya sangat jarang terjadi. Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang notabene adalah habitat badak Sumatera menganggap identifikasi tentang penyakit ini menjadi sangat penting dan perlu dilakukan agar diperoleh acuan untuk manajemen pemeliharaan selanjutnya.  Trypanosomiasis (Surra) merupakan penyakit menular pada hewan yang bisa bersifat akut maupun kronis. Parasit darah – Protozoa ini pertama kali ditemukan oleh Evans tahun 1880 di India (Trypanosoma evansi). Awalnya ditemukan pada kuda, kemudian hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap penyakit ini dengan derajat kerentanan yang berbeda. Hewan yang paling rentan kuda, unta dan anjing. Ruminansia kurang rentan sedangkan unggas dan manusia kebal terhadap Surra.
Cara penularan : Trypanosoma evansi akan hidup dalam darah melalui vector seperti lalat penghisap darah golongan Tabanidae (sering disebut lalat pitak atau lalat kerbau) dengan cara mekanik murni dimana Trypanosoma tidak mengalami siklus hidup dalam vektor. Lalat lain : Chrysops, stomoxys, haematopota, lyperosia, haematobia dan beberapa arthopoda lain (anopheles, musca, pinjal, kutu dan caplak). Hewan yang mengandung penyakit tanpa gejala merupakan sumber penyakit yang berbahaya.
Gejala yang dapat ditemukan pada satwa yang terkena Surra
Kuda : Inkubasi 4 – 13 hari, demam (lebih 39 0C), lesu dan lemah. Kadang-kadang pincang kaki belakang (bahkan lumpuh). Mucosa mata agak kuning dengan ptechiae dan oedema kaki bawah. Limfoglandula submaxilaris bengkak dan terasa panas kadang-kadang urtikaria. Gejala syaraf cerebrospinal yaitu gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan berputar-putar, biasanya nafsu makan tetap baik.
Sapi dan kerbau : Setelah melewati masa inkubasi timbul gejala umum : temperatur naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu. biasanya hewan dapat mengatasi penyakit walaupun dalam darahnya ada Trypanosoma bertahun-tahun.Apabila sakit : demam selang seling, oedema bawah dagu dan anggota gerak, anemia, makin kurus dan bulu rontok. Mucosa menguning awalnya cermin hidung mengering lalu keluar lendir dan air mata dan sering makan tanah. Ketika masuk cairan cerebrospinal : sempoyongan, berputar-putar,gerak paksa dan kaku.
Badak Sumatera : Kurang nafsu makan, lesu, kelemahan tubuh bagian belakang, sulit ketika bernafas dan bias menyebabkan kematian yang sangat cepat.
Bahan pemeriksaan dapat berupa sediaan ulas darah tipis  dan dengan mikrohematokrit sentrifus: tabung hematokrit yang dilapisi heparin diisi darah lalu ujung ditancapkan cristoseal. Diputar 4-5 menit. Pemeriksaan diatas gelas obyek yang dibuat alur dengan mendekatkan 2 gelas obyek dibawah mikroskop. Sedangkan uji lebih details dilakukan dengan uji serum (antibody)
Dengan adanya kasus pada badak Sumatera maka SRS melalui dokter hewanya (Dedi Candra, Marcel, M. Agil dan Robin WR) melakukan identifikasi secara menyeluruh terhadap Trypanosomiasis di kawasan sekitar TNWK dengan radius 8-15 km. Karena vector lalat dapat terbang sangat jauh maka metode pengambilan sample berdasarkan distribusi satwa yang ada.
Lokasi pertama adalah SRS dengan sample Badak (2) dan Babi (1), lokasi kedua Kampung Plang ijo dengan sample Sapi (4) dan Rajabasa Labuhan ratu dengan sample Sapi (1) dan lokasi ke tiga Pusat Latihan Gajah- PLG Way Kambas dengan sample Gajah (8).
Analisa dilakukan dengan pemeriksaan natif, ulas darah dan uji serum terhadap antibody.
Dari pemeriksaan tersebut hanya satu ekor Gajah PLG yang terdapat antibody terhadap Trypanosoma tetapi setelah dilakukan pemeriksaan ulang tidak ditemukan adanya infasi Trypanosoma. Bersyukur sekali ternyata Way Kambas bebas Trypanosoma, tetapi karena penyakit ini dibawa oleh vector lalat dan pengawasan keluar masuk satwa di Indonesia yang tidak ketat maka ancaman terhadap penyakit ini tetap ada.  Pemeriksaan secara periodik harus tetap dilakukan. Disamping itu tindakan preventive di SRS juga tetap dilakukan seperti  pengendalian vector Tabanidae terutama pada musim hujan dan melakukan pemeriksaan darah rutin.

(dari berbagai sumber – Warta konservasi edisi II June  2005)

Leave a comment